Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
70
dibentuk dengan resmi serta telah diundangkan pihak yang berkuasa, disamping hukum tertulis ini,
adapun norma yang tidak dituliskan pada masyarakat yang mampu mengelola perilaku anggotanya
dengan efektif (Pide & SH, 2017).
Legalitas Anak Luar Kawin
Legalitas hukum untuk anak luar kawin tentunya telah dituliskan pada Pasal 280 dan
pengakuannya dapat dilihat pada Pasal 284 apabila telah diakui oleh ayah biologis anak itu dan atas
persetujuan dari ibu kandungnya. KUH Perdata pada dasarnya memberikan kepastian serta pengaturan
hukum atas hak serupa pada anak diluar perkawinan tersebut agar mereka mampu dapat memenuhi
HAM selaras pada amanat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia.
Pengakuan yang diberikan KUH Perdata kepada anak diluar perkawinan tentunya berperan
sebagai pemenuhan Asas Kepastian Hukum kepada mereka dan Asas Kesamaan Hukum. Legalitas
tersebut dapat terjadi apabila memenuhi beberapa persyaratan salah satunya mengenai harus
memperoleh pengakuan dari ayah biologis anak tersebut dan harus disahkan oleh majelis hakim
apabila permasalahan pengakuan status hukum ini mencapai ke Pengadilan. Anak sendiri termasuk
sebuah karunia untuk kedua orang tuanya, namun tak jarang ada beberapa anak yang tidak diakui
dikarenakan anak hasil perzinahan atau anak diluar perkawinan, sehingga haknya dalam memperoleh
warisan harta kedua orang tua seringkali mendapat berbagai pertentangan dari saudara kandung sah
atau yang diakui oleh kedua orang tuanya khususnya pengakuan dari ayah kandungnya, sehingga
kasus gugatan dari pihak ibu kandung yang meminta kepastian dan pengakuan dari ayah biologisnya
di Pengadilan begitu banyak setiap tahunnya, seperti kasus Rezky Aditya dan Wenny Ariani yang
diberlanjut hingga diselesaikan di Pengadilan Negeri Tangerang melalui Perkara No:
746/Pdt.G/2021/PN Tng, dan masih banyak lagi diluar sana.
Berkaca dan mengacu dari berbagai permasalahan dan problematika yang muncul diatas
mengenai legalitas anak luar kawin tentunya berdasar pada KUH Perdata dan beberapa doktrin dari
Klaassen, Eggens dan Polak, yang menjelaskan bahwa hak yang dimiliki anak diluar perkawinan
untuk warisan harta akan setara pada anak sah bila orang tuanya mengakui anak tersebut, dimana akan
menjadi ahli waris sepenuhnya dengan hak heredetatis petition, hak saissine, serta hak dalam
memberikan tuntutan memecahkan warisan (Afandi, 1984).
Anak luar kawin pada dasarnya atau secara legalitas mereka tidak ada dalam posisi di bawah
kuasa orang tuanya, namun di bawah kuasa dari wali, dimana membuat bagian ataupun haknya untuk
mendapat warisan menjadi tidak setara, kemudian terdapatnya pengakuan sebatas mengakibatkan
hubungan diantara anak pada orang tuanya secara hukum, artinya tidak mencakup keluarga yang
memberikannya pengakuan (Hijawati & Rizayusmanda, 2021). Anak memiliki hak yang sama yang
mengakibatkan timbulnya Konvensi Hak Anak yang Pemerintah ratifikasi dengan Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990 dimana menjabarkan beragam prinsip umum dalam melindungi anak, yakni
kepentingan terbaik anak, nondiskriminasi, menghargai partisipasi anak, serta tumbuh kembang dan
kelangsungan hidup anak.
Beragam prinsip ini pun termuat pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 supaya hak dari anak bisa diterapkan di Indonesia, oleh sebab
itu mulailah bermunculan bentuk perlindungan anak terutama anak diluar perkawinan yang sering
mendapat perlakuan diskirminasi di Indonesia melalui berbagai peraturan yang ada di Indonesia
supaya senantiasa menjaga serta menjadi wujud perlindungan untuk hak yang sama terhadap anak luar
kawin dihadapan hukum di Indonesia. Bentuk dari kepeduliannya pemerintah untuk martabat serta
harkat anak sebetulnya telah diperlihatkan semenjak dibentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979,
namun sampai dikeluarkannya UU Perlindungan Anak hingga saat ini, pemenuhan hak maupun
kesejahteraan anak tidak bisa diraih dengan baik (Saraswati, 2015).