Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 4, No. 1, Januari 2023
E-ISSN:2723 6595
http://jiss.publikasiindonesia.id/ P-ISSN:2723 6692
Doi: 10.36418/jiss.v4i1.770 68
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Achmad Khozin Baharudin, Septian Arya Budi Mahesa, Fadila Fernanda
Universitas Pembangunan Nasional, Surabaya, Indonesia
Email: khozinspeed48@gmail.com, septianarya@gmail.com, fadilafernanda@gmail.com
Artikel info
Artikel history
Diterima
: 05-01-2023
Direvisi
: 20-01-2023
Disetujui
: 29-01-2023
Kata Kunci: Anak Luar
Kawin; Hak Mawaris;
Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Keywords: Illegitimate
Child; Inheritence Right;
Constitutional Court
Adjudication.
Abstrak
Legalitas di Indonesia mengenai anak luar kawin pada dasarnya telah
dituliskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada
Pasal 280 dan pengakuannya dapat dilihat pada Pasal 284 apabila telah
diakui oleh ayah biologis dari anak tersebut serta atas persetujuan dari ibu
kandungnya. Problematika yang muncul adalah pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Mewaris Anak Luar Kawin,
yang dimana hal ini menjadi permasalahan secara norma seakan terjadi
dualisme sistem kekeluargaan yaitu hubungan diluar kawin dan hubungan
resmi perkawinan yang dimana hal ini dinggap melegalkan hubungan luar
kawin di masyarakat Indonesia. Problematika lainnya muncul saat
pembagian hak waris terhadap anak luar kawin tersebut yaitu pasca
munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010 Tentang
Hak Mewaris Anak Luar Kawin, maka membuat anak diluar perkawinan
mendapatkan pembagian setara pada anak yang sah, tentunya hal ini tidak
sesuai dengan Asas Keadilan khususnya terhadap anak kandung. Metode
yang peneliti pergunakan berupa hukum normatif, yakni sebuah penelitian
kepustakaan hukum yang berlandaskan terhadap norma hukum pada
peraturan dimana khususnya di sini mempergunakan Putusan Mahkamah
Konstitusi No.: 46/PUU-VIII/2010 serta KUH Perdata.
Abstract
The legality of an illegitimate child in Indonesia has been fundamentally
regulated in the Indonesian Civil Code in Article 280 and the admission is
stated in Article 284, if the child has been avowed by the biological father
upon the biological mother’s approval. The problem arise in the
Constitutional Court Adjudication Number: 46/PUU-VIII/2010 about the
Inheritence Right of an Inllegitimate Child, which became a normic problem
that makes as if there is a dualism in the familial system; inside and outside
legal marriage, in which this is considered as legalizing non-marriage
relationship among Indonesian citizens. Another problem arise about the
distribution of inheritance law for illegitimate children in the Constutional
Court Adjudication Number: 46/PUU-VIII/2010 about the Inheritence Right
of an Inllegitimate Child, that makes an illegitimate child have the same
inheritance right with a legitimate child. Surely, this does not align with the
Principle of Justice, especially for the legitimate child. The research method
used in this Journal is the normative law research, which is a textual law
research that leans into normic law that exists in the international
regulations and legislational regulations, this research especially uses the
Constitutional Court Number: 46/PUU-VIII/2010 about the Inheritence
Right of an Inllegitimate Child, and the Indonesian Civil Code.
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
69
Koresponden author: Septian Arya Budi Mahesa
Email: septianary[email protected]
artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
CC BY SA
2023
Pendahuluan
Anak luar kawin yakni seorang anak yang terlahir tanpa disertai adanya ikatan pernikahan
dari orang tuanya secara sah (Taufiki, 2012), . Seperti yang telah ditetapkan pada Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwasanya “konsekuensi yuridis anak luar kawin hanya terikat
hubungan perdata dengan ibu yang melahirkan”. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa hukum
tidak memberikan jaminan keadilan terhadap hak anak, sehingga menyalahi ketentuan dari Undang-
Undang Dasar 1945. Sampai dengan diajukannya permohonan atas perkara Machica Mochtar ke
Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010,
konsekuensi yuridis untuk anak diluar perkawinan mendapati perubahan. Adanya putusan tersebut
menyebabkan pengakuan secara konstitusional untuk haknya anak luar kawin termasuk untuk segi
pewarisan, karena terdapat perubahan redaksi yaitu, anak luar kawin tidak hanya punya hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tetapi juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah
dan/atau keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan atau alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut adalah ayah dari anak luar kawin
tersebut.”(Djumikasih, 2013), (Rizqy, 2015). Sementara itu pembuktian dengan berdasar dari
teknologi serta ilmu pengetahuan seperti yang disebutkan pada redaksi putusan tersebut tidak lain
terkait dengan pemeriksaan DNA.
Status yang dapat dibuktikan secara hukum, akan memengaruhi hak anak terutama dalam segi
pewarisan. Tinjauan ini tentu memberikan ratio legis yang berbeda antara hukum perdata, islam, serta
adat. Berkaitan dengan prinsip lex spesialis, putusan Mahkamah Konstitusi tetap dapat menjadi
rujukan atau bahkan tidak sama sekali, disesuaikan dengan kasus posisi dan pertimbangan hakim
dalam menilai perkara. Konsekuensi secara yuridis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi nyatanya
menjadi dua mata pisau yang tetap harus dipertimbangkan, baik dari segi positif maupun negatifnya.
Alasan tersebut tidak menutup kemungkinan jika masih banyak disparitas putusan dalam perkara hak
mewaris anak di Indonesia yang ditinjau melalui perspektif pluralitas hukum waris.
Berdasarkan hal tersebut, didapati permasalahan:
1. Bagaimanakah kedudukannya anak luar kawin dalam pewarisan di Indonesia sebelum
adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010?
2. Bagaimanakah konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
terhadap hak mewaris anak luar kawin dalam pandangan hukum nasional?
Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong hukum normatif, yakni sebuah penelitian kepustakaan hukum yang
berlandaskan norma hukum pada peraturan undang-undang ataupun peraturan internasional (Tan,
2021). Fokus kajiannya berupa hukum positif (Sujatmoko, 2007), yakni sebuah hukum yang
diberlakukan di sebuah tempat ataupun waktu, yakni sebuah norma ataupun aturan tertulis yang
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
70
dibentuk dengan resmi serta telah diundangkan pihak yang berkuasa, disamping hukum tertulis ini,
adapun norma yang tidak dituliskan pada masyarakat yang mampu mengelola perilaku anggotanya
dengan efektif (Pide & SH, 2017).
Legalitas Anak Luar Kawin
Legalitas hukum untuk anak luar kawin tentunya telah dituliskan pada Pasal 280 dan
pengakuannya dapat dilihat pada Pasal 284 apabila telah diakui oleh ayah biologis anak itu dan atas
persetujuan dari ibu kandungnya. KUH Perdata pada dasarnya memberikan kepastian serta pengaturan
hukum atas hak serupa pada anak diluar perkawinan tersebut agar mereka mampu dapat memenuhi
HAM selaras pada amanat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia.
Pengakuan yang diberikan KUH Perdata kepada anak diluar perkawinan tentunya berperan
sebagai pemenuhan Asas Kepastian Hukum kepada mereka dan Asas Kesamaan Hukum. Legalitas
tersebut dapat terjadi apabila memenuhi beberapa persyaratan salah satunya mengenai harus
memperoleh pengakuan dari ayah biologis anak tersebut dan harus disahkan oleh majelis hakim
apabila permasalahan pengakuan status hukum ini mencapai ke Pengadilan. Anak sendiri termasuk
sebuah karunia untuk kedua orang tuanya, namun tak jarang ada beberapa anak yang tidak diakui
dikarenakan anak hasil perzinahan atau anak diluar perkawinan, sehingga haknya dalam memperoleh
warisan harta kedua orang tua seringkali mendapat berbagai pertentangan dari saudara kandung sah
atau yang diakui oleh kedua orang tuanya khususnya pengakuan dari ayah kandungnya, sehingga
kasus gugatan dari pihak ibu kandung yang meminta kepastian dan pengakuan dari ayah biologisnya
di Pengadilan begitu banyak setiap tahunnya, seperti kasus Rezky Aditya dan Wenny Ariani yang
diberlanjut hingga diselesaikan di Pengadilan Negeri Tangerang melalui Perkara No:
746/Pdt.G/2021/PN Tng, dan masih banyak lagi diluar sana.
Berkaca dan mengacu dari berbagai permasalahan dan problematika yang muncul diatas
mengenai legalitas anak luar kawin tentunya berdasar pada KUH Perdata dan beberapa doktrin dari
Klaassen, Eggens dan Polak, yang menjelaskan bahwa hak yang dimiliki anak diluar perkawinan
untuk warisan harta akan setara pada anak sah bila orang tuanya mengakui anak tersebut, dimana akan
menjadi ahli waris sepenuhnya dengan hak heredetatis petition, hak saissine, serta hak dalam
memberikan tuntutan memecahkan warisan (Afandi, 1984).
Anak luar kawin pada dasarnya atau secara legalitas mereka tidak ada dalam posisi di bawah
kuasa orang tuanya, namun di bawah kuasa dari wali, dimana membuat bagian ataupun haknya untuk
mendapat warisan menjadi tidak setara, kemudian terdapatnya pengakuan sebatas mengakibatkan
hubungan diantara anak pada orang tuanya secara hukum, artinya tidak mencakup keluarga yang
memberikannya pengakuan (Hijawati & Rizayusmanda, 2021). Anak memiliki hak yang sama yang
mengakibatkan timbulnya Konvensi Hak Anak yang Pemerintah ratifikasi dengan Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990 dimana menjabarkan beragam prinsip umum dalam melindungi anak, yakni
kepentingan terbaik anak, nondiskriminasi, menghargai partisipasi anak, serta tumbuh kembang dan
kelangsungan hidup anak.
Beragam prinsip ini pun termuat pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 supaya hak dari anak bisa diterapkan di Indonesia, oleh sebab
itu mulailah bermunculan bentuk perlindungan anak terutama anak diluar perkawinan yang sering
mendapat perlakuan diskirminasi di Indonesia melalui berbagai peraturan yang ada di Indonesia
supaya senantiasa menjaga serta menjadi wujud perlindungan untuk hak yang sama terhadap anak luar
kawin dihadapan hukum di Indonesia. Bentuk dari kepeduliannya pemerintah untuk martabat serta
harkat anak sebetulnya telah diperlihatkan semenjak dibentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979,
namun sampai dikeluarkannya UU Perlindungan Anak hingga saat ini, pemenuhan hak maupun
kesejahteraan anak tidak bisa diraih dengan baik (Saraswati, 2015).
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
71
Status hukum ataupun legalitas anak diluar perkawinan yakni sebatas hubungan perdata
dengan ibu beserta keluarganya ibu tersebut, sementara untuk ayah kandung serta keluarga ayahnya
tersebut tidak terdapat hubungan secara perdata sama sekali. Begitupun untuk akta kelahirannya anak,
akan dicatatkan nama ibu saja untuk anak diluar perkawinan.
Fakta Hukum yang terjadi dimasyarakat khususnya yang menimpa anak luar perkawinan
memperlihatkan diskriminasi serta tidak terdapatnya perlindungan untuk anak tersebut secara hukum.
Permasalahan ini mulai timbul dikarenakan Pasal 2 ayat (1) serta (2) dari UU Perkawinan, dimana
pada penyelenggaraannya mengakibatkan diskriminasi serta kesulitan untuk anak dan perempuan.
Kemudian juga berlawan sekali pada nilai kemanusiaan, budaya, serta agama yang mana di Indonesia
sangat majemuk.
Problematika yang terdapat diuraian diatas tentunya pada dasarnya akan kembali kepada
Pasal 280 KUH Perdata, dimana sejumlah ketetapan peraturan diatas selaku landasan hukum dari hak
anak masih tetap memerlukan peranan KUH Perdata selaku sumber secara hukum untuk kedudukan
maupun pembagian hak dari anak diluar pernikahan. Seperti pada KUH Perdata Pasal 280 dimana
“dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan
bapak atau ibunya”. Tentunya kondisi ini akan membuktikan bahwa legalitas anak diluar perkawinan
menjadi perdebatan untuk beberapa pihak baik yang melihatnya secara pemenuhan Hak Asasi
Manusia, secara sosiologis, maupun secara agama, yang menimbulkan berbagai pendapat bahwa hal
ini akan berdampak akan melegalkan perkawinan diluar pernikahan/perkawinan sah di mata negara
ataupun agama.
Keberadaan anak luar kawin sering diartikan sama dengan anak hasil zinah namun penjelasannya dan
status hukumnya dapat dilihat dari Pasal 272 KUH Perdata, dimana setiap anak yang dilahirkan di
luar nikah (antara pejaka dengan seorang gadis) dapat diakui sekaligus disahkan kecuali anak‐anak
yang dibenihkan dari hasil zina atau sumbang”. Sementara itu “anak zina atau sumbang adalah anak‐
anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki‐laki dengan seorang wanita yang dilarang kawin
antara keduanya”. Penjabaran dalam Pasal 272 ini mengartikan bahwasanya hubungan seksual
diantara perjaka serta gadis diluar pernikahan tidak tergolong zina.
Kondisi ini menandakan bahwasanya yang KUH Perdata maksud dengan zina yakni
hubungan seksual diluar pernikahan dari mereka yang sudah beristri ataupun bersuami.
Definisi lain ditunjukkan oleh Pasal 99 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan
“anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam dan akibat pernikahan yang sah”. Sementara untuk
mengacu dari KHI “zina adalah setiap hubungan seks yang dilakukan oleh pria dan wanita di luar
ikatan pernikahan yang sah tidak dibedakan apakah hal tersebut dilakukan oleh pejaka dan gadis
maupun oleh orang‐orang yang telah menikah”. Kesimpulannya adalah mengacu pada kedua
penjelasan dan definisi dari kedua dasar hukum tersebut agar dapat memenuhi status dan legalitas
hukum maka zina dari dua hukum ini tentu mempengaruhi kedudukan serta status anak diluar
perkawinan, apakah ia bisa mendapatkan pengakuan dari orang tuanya selaku anak sah, tentunya hal
ini akhirnya berimbas pada status HAM serta status anak pada proses pembagian harta maupun waris
mewaris yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan tentunya (Gani, 2013). Anak luar kawin
tentunya perlu diatur selain secara legalitas atau status hukumnya secara jelas di Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata juga perlu diberikan Kepastian Hukum terhadap hak waris tehadap dirinya
agar ia dapat berkehidupan layak kedepannya.
Hak Waris Anak Luar Kawin Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
Pasca melakukan pembahasan dan analisa mengenai legalitas hokum terhadap anak luar
kawin tentunya hal itu terus berlanjut hingga anak tersebut mencapai dewasa mulai dari problematika
mengenai wali nikah dari anak tersebut hingga pembagian waris yang harusnya diterima dari pihak
ayah biologisnya. Kompleksitas dari pokok permasalahan tersebut tentunya menghasilkan analisa dari
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
72
Penulis yaitu, terdapat dua cara membagikan waris untuk anak diluar perkawinan, yakni secara KUH
Perdata serta KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Pembagian harta waris dengan mengacu dari KUH Perdata dapat dilihat dari rincian porsi dari
haknya anak tersebut untuk warisan orang tuanya yang hal ini tentunya haruslah berdasarkan Pasal
863 KUH Perdata yang diantaranya:
a. Bagian anak luar nikah yang tekah diakui adalah sepertiga dari bagiannya seandainya ia
adalah dari seorang anak sah, apabila dia mewaris bersamaahli waris Golongan I. Misalnya A
Meninggal, lalu A meninggalkan isterinya B dan dua anak kandungnya C dan D serta seorang
anak dari luar nikah yang telah diakui oleh A dimana sebelum perkawinan dengan B yaitu
dengan E, maka pembagian harta warisnya adalah:
1. Ahli Waris E, mendapat ¼ seandainya ia anak sah karena Ahli Waris E anak tidak sah
ia medapat1/3, maka bagian E = 1/3 x ¼ = 1/12.
2. Ahli Waris E, mendapat bagian ½ dari seluruh harta waris. Sisanya ½ lagi dibagi antara B,
C dan D dimana masing-masing B, C dan D mendapat 1/3 x ½ = 1/6.
b. Bagian anak luar nikah yang diakui adalah seperdua jika mewaris bersama ahli waris
Golongan III. Misalnya A meninggal, tentunya dimana meninggalkan kakek dan nenek dari
pihak bapak (B dan C), nenek dari pihak ibu (D) dan seorang anak luar nikah (E). Maka
pembagian warisannya adalah E mendapat ½ dari seluruh harta bagian warisan. Sisanya ½
lagi dibagi B, C dan D, kemudian B mendapat ½ x ½ x ½ = 1/8, kemudian C mendapat 1/8,
dan D mendapat 1/8.
c. Bagian anak luar nikah yang telah diakui adalah ¾ jika mewarisi bersama ahli waris
Golongan IV. Misalnya A meninggal, tentunya dimana meninggalkan keponakan dalam
derajat kedua (B dan C) dan seorang anak luar nikah (E). Maka bagian E adalah ¾ dari
warisan seluruhnya. Sisanya ¼ dibagi antara B dan C mendapat ½ x ¼ = 1/8 dan C mendapat
1/8.”
KUH Perdata Pasal 865 juga menjelaskan lebih dalam bahwasanya “jika si meninggal,
meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian anak luar nikah akan mendapatkan seluruh warisan.
Contohnya A meninggalkan sanak saudara hanya E (anak luar nikah), maka seluruh warisan A jatuh
ke tangan E. Tata cara pembagian harta warisan apabila terdapat ahli waris yang sah dan anak luar
nikah adalah dengan membagi harta lebih dahulu”.
KUH Perdata pun menentukan apabila anak luar nikah tadi diakui oleh kedua orang tuanya
maka apabila ia bersama-sama Golongan I akan mendapat 1/3, lalu apabila bersama-sama dengan
Golongan II dan III maka akan mendapatkan ½ dan apabila ia bersama-sama Golongan IV akan
mendapatkan ¾. Besarnya bagian waris yang akan diterima oleh anak luar nikah yang telah diakui
oleh kedua orang tuanya ditentukan bersama Golongan Waris yang terkait”.
Pembagian selanjutnya menurut kacamata Kompilasi Hukum Islam yakni warisan yang bisa
diterima serta diperoleh anak diluar perkawinan yakni harta peninggalan ibu, yang mana jika ia
perempuan tunggal akan mendapat bagian ½ sedangkan bila melebihi satu artinya pembagian menjadi
2/3. Bila ada anak laki-laki menjadi asabah. Besar pembagian untuk anak diluar perkawinan tidak
dibedakan pada anak sah. Perbedaannya yakni dia mempunyai hak untuk mendapatkan bagiannya
waris harta yang ibunya tinggalkan, dan bukan dari pihak ayah. Penentuan dari pembagian Harta
Waris kepada anak diluar perkawinan sebelum terdapatnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010, akan menjadi dasar dari Produk Hukum baru dari Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Hak Mewarisi Anak Luar Kawin Pasca Dikeluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
KUHPerdata menyatakan bahwa ada dua cara untuk mewarisi: baik dengan disebutkan dalam
wasiat atau dengan menjadi ahli waris sesuai dengan aturan hukum (wasiat). Metode pertama disebut
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
73
sebagai pewarisan dengan undang-undang atau "ab intestato", dan metode kedua disebut sebagai
pewarisan "wasiat" atau testamentair. Cendikiawan Ali Afandi memberikan doktrin bahwa mewarisi
secara ab intestate (Undang-Undang), biasa dikenal dengan hukum waris by ver stef(tanpa surat
wasiat) (dikaitkan dengan matinya seseorang). Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan diatur oleh
undang-undang (Ramulyo, 2000).
Pembagian Waris Terhadap Anak Di Luar Kawin Pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII-
2010
Anak yang lahir diluar pernikahan hanya memiliki hubungan keperdataan pada ibunya saja
tidak dengan ayahnya sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1), meskipun
ayat (2) menuliskan bahwa status anak tersebut diatur melalui peraturan pemerintah (PP) tersendiri.
Walaupun Pemerintah mengeluarkan PP No. 9 Tahun 1975 yang merupakan penyelenggaraan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, namun tidak membahas terkait kedudukannya anak diluar
perkawikan. Akibatnya hak dari anak ini menjadi isu yang seharusnya dilindungi selaku manusia
dengan hak sama sejak didalam kandungan melalui peraturan yang jelas dan perlu diperhatikan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di tahun 2010 mendapati pengujian
secara materiil (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi dari Machica Binti Mochtar Ibrahim
ataupun Hj. Aisyah Mochtar selaku Pemohon 1 serta Muhammad Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono
selaku Pemohon 2 yang menganggap bahwa pada Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU
Perkawinan berlawanan pada Pasal 28 B Ayat (1) serta (2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI 1945.
Pemohon Judicial Review pada Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan dianggap tidak memiliki kekuatan
secara yang mengikat selama diberikan makna melenyapkan hubungan secara perdata pada ayah yang
terbukti melalui pengetesan DNA ataupun alat bukti lainnya yang bisa dibuktikan kredibiltasnya, serta
secara hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayah.
Mengacu dari putusan ini, maka tidak merubah ataupun menghapus ketetapan Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), namun merubah makna asal sesuai persyaratan
inkonstitusional selama ayat itu dimaknai melenyapkan hubungan secara perdata pada ayah biologis
yang terbukti secara teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun bukti lainnya secara hukum memiliki
hubungan biologis selaku ayah. Maka kedudukan anak diluar perkawinan sesudah keberadaan putusan
MK No. 46/PUU-VIII/2010 tesebut berakibat terhadap terpenuhinya hak-hak keperdataan seorang
anak zina maupun anak sumbang dari seorang laki-laki yakni ayah kandung selama bisa terbukti
ikatan darahnya tersebut dengan pengetesan DNA maupun alat pembuktian lain.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut bermaksud memberi kepastian
hukum terhadap status seorang anak diluar perkawinan melaui mempertegas bahwasanya anak
tersebut berhak atas haknya yakni berupa kedudukan dimata hukum, perlindungan hukum, serta hak-
hak lainnya seperti anak sah. Walaupun perkawinan orang tuanya masih diperkarakan secara
keperdataan (Sujana, 2015).
Kesimpulan
Sebelum terdapatnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin
hanya mempunyai status hukum berupa hubungan perdata pada ibu beserta keluarganya ibu tersebut.
Sementara sesudah terdapatnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 mengakibatkan
terpenuhinya hak-hak keperdataan seorang anak zina maupun anak sumbang dari seorang laki-laki
selaku ayah biologis selama bisa dibuktikan ikatan darahnya dengan pengetesan DNA maupun alat
pembuktian yang lain.
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010 Terhadap
Hak Mewaris Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Hukum Nasional
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 4, No. 1, Januari 2023
74
Bibliografi
Afandi, A. (1984). Hukum Waris, Hukum Kelauarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (P. 132). Pt Bina Aksara.
Djumikasih, D. (2013). Implikasi Yuridis Putusan Mk Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terhadap Akta
Kelahiran Anak Luar Kawin. Arena Hukum, 6(2), 204217.
Https://Doi.Org/10.21776/Ub.Arenahukum.2013.00602.4
Gani, R. A. (2013). Status Anak Luar Nikah Dalam Hukum Waris (Studi Komperatif Antara Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam). Al-Risalah; Forum Kajian
Hukum Dan Sosial Kemasyarakatan, 13(1), 122. Http://Repository.Uinjambi.Ac.Id/276/
Hijawati, H., & Rizayusmanda, R. (2021). Hak Dan Kedudukan Anak Luar Nikah Yang Diakui
Terhadap Warisan Tanah Ditinjau Dari Hukum Perdata. Solusi, 19(1), 126137.
Https://Doi.Org/10.36546/Solusi.V19i1.333
Pide, A. S. M., & Sh, M. (2017). Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang. Prenada Media.
Https://Books.Google.Co.Id/Books?Hl=En&Lr=&Id=Jeaadwaaqbaj&Oi=Fnd&Pg=Pp1&Dq=Hu
kum+Yang+Diberlakukan+Di+Sebuah+Tempat+Ataupun+Waktu,+Yakni+Sebuah+Norma+Ata
upun+Aturan+Tertulis+Yang+Dibentuk+Dengan+Resmi+Serta+Telah+Diundangkan+Pihak+Ya
ng+Berkuasa,+Disamping+Hukum+Tertulis+Ini&Ots=Cibge11ko7&Sig=X8cauemwqid0rcwky
no8fjadjpc&Redir_Esc=Y#V=Onepage&Q&F=False
Ramulyo, M. I. (2000). Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bw).
Https://Repo.Iainbatusangkar.Ac.Id/Xmlui/Handle/123456789/8776
Rizqy, M. F. (2015). Implikasi Yuridis Putusan Mk Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terkait Perlindungan
Hak Anak. Jurnal Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Mei, 30.
Http://Download.Garuda.Kemdikbud.Go.Id/Article.Php?Article=584103&Val=9641&Title=Imp
likasi Yuridis Putusan Mk Nomor 46puu-Viii2010 Terkait Perlindungan Hak Anak
Saraswati, R. (2015). Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia (Issue 2). Pt. Citra Aditya Bakti.
Http://Repository.Unika.Ac.Id/23271/
Sujana, I. N. (2015). Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010. Aswaja Pressindo.
Http://Repository.Warmadewa.Ac.Id/Id/Eprint/773/
Sujatmoko, A. (2007). Pengadilan Campuran (“ Hybrid Tribunal”) Sebagai Forum Penyelesaian Atas
Kejahatan Internasiona. Teras Law Review: Jurnal Hukum Humaniter Dan Ham, 3(5).
Http://Trijurnal.Lemlit.Trisakti.Ac.Id/Index.Php/Teras-Lrev/Article/View/5418
Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas Dan Mengulas Metodologi Dalam
Menyelenggarakan Penelitian Hukum. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463
2478. Https://Doi.Org/10.31604/Jips.V8i8.2021.2463-2478
Taufiki, M. (2012). Konsep Nasab, Istilhâq, Dan Hak Perdata Anak Luar Nikah.
Https://Repository.Uinjkt.Ac.Id/Dspace/Handle/123456789/30919