Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 3, No. 11, November 2022
E-ISSN:2723 6595
http://jiss.publikasiindonesia.id/ P-ISSN:2723 6692
Doi: 10.36418/jiss.v3i11.731 1467
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Agus Riwanto
1
, Satryo Sasono
2,
Andina Elok Puri Maharani
3
Airlangga Suryanegara
4
, Adriana G.Firaussy
5
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Indonesia
Email: agusriwanto@staff.uns.ac.id
1
, s4tryosa[email protected]om
2
, andinaelok@staff.uns.ac.id
3
airlanggasuryanagar[email protected]
4
5
Artikel info
Artikel history
Diterima
: 01-11-2022
Direvisi
: 10-11-2022
Disetujui
: 12-11-2022
Kata Kunci: Perlindungan
Hukum; Pekerja Anak;
Industri Hiburan.
Keywords: Legal Protection;
Child Labor; Entertainment
Industry.
Abstrak
Pekerja anak merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi khususnya
di Indonesia yang menimbulkan berbagai macam persoalan besar. Dalam hal
ini industri hiburan merupakan sektor industri yang sangat rawan terjadi
eksploitasi anak baik secara fisik, sosial, seksual, dan ekonomi. Hal ini
dikarenakan anak direkrut dan dipekerjakan berdasarkan penampilan,
bekerja secara berlebihan hingga menyita bermain dan belajar anak demi
keuntungan materi orang tuanya, dan terkadang dijerumuskan pada
pekerjaan terburuk mengakibatkan eksploitasi seksual akibat pelibatan
dalam kegiatan prostitusi. Namun demikian, ada banyak faktor yang
membuat seorang anak terpaksa bekerja. Pekerja anak erat kaitannya dengan
eksploitasi, pekerjaan yang sangat berbahaya, dan menghambat pendidikan
serta menghambat perkembangan fisik. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis bagaimana bentuk pengaturan perlindungan hukum yang dapat
membuat pekerja anak terhindar dari tindakan eksploitasi, apakah yang
menjadi faktor-faktor penyebab industri hiburan rawan eksploitasi anak, dan
bagaimana upaya pemerintah dalam menanggulangi pekerja anak dalam
sektor industri hiburan dari tindakan eksploitasi. Dalam penelitian ini
menggunakan metode hukum normatif atau melalui pendekatan perundang
undangan dengan menelaah semua regulasi dan undang-undang yang
berhubungan dan terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti. Hasil dari
penulisan ini menyatakan bahwa meskipun terdapat sejumlah aturan
perlindungan pekerja anak, tetapi kecenderungan permasalahan pekerja anak
terutama dalam sektor industri hiburan ini telah berkembang secara
kompleks menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang eksploitatif.
Disharmonisasi peraturan dan upaya pemerintah lain terkait penanggulangan
pekerja anak di bawah umur juga menjadi pengaruh. Oleh karena itu,
berbagai cara telah diupayakan oleh pemerintah dalam mengatasi
permasalahan ini, namun nyatanya masih belum sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Abstract
In this case, the entertainment industry is an industrial sector that is very
prone to the exploitation of children physically, socially, sexually, and
economically. This is because children are recruited and employed on the
basis of appearance, work excessively to the point of confiscating children's
playing and learning for the material gain of their parents, and sometimes
being put in the worst jobs resulting in sexual exploitation due to
involvement in prostitution activities. However, there are many factors that
make a child forced to work. Child labor is closely related to exploitation,
very dangerous work, and hinders education and hinders physical
development. This study aims to analyze how forms of legal protection
arrangements can make child laborers avoid acts of exploitation, what are
the factors that cause the entertainment industry to be prone to child
exploitation, and how the government's efforts in tackling child labor in the
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1468
entertainment industry sector are from acts of exploitation. This study uses
the normative legal method or a statutory approach by reviewing all
regulations and laws related to and related to the legal issue being studied.
The results of this paper state that although there are a number of regulations
protecting child labor, the tendency of child labor problems, especially in the
entertainment industry sector, has developed in a complex manner towards
the worst forms of exploitative work. Disharmonization of regulations and
other government efforts related to the handling of child labor is also an
influence. Therefore, various ways have been attempted by the government
in overcoming this problem, but in fact, it is still not in accordance with
what is expected.
Koresponden author: Agus Riwanto
Email: agusriwanto@staff.uns.ac.id
artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
CC BY SA
2022
Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Pancasila dan
UUD 1945 merupakan pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia yang di dalamnya terdapat hak dan
kewajiban bangsa Indonesia sebagai warga negara. Sebagai akibat dari negara kesejahteraan yang
diperkenalkan oleh Indonesia, negara harus menjamin hak asasi dan kewajiban warga negara dan
rakyatnya dalam konstitusi negara. Hal ini dilakukan dengan mencantumkan hak dan kewajiban
warga negara dalam konstitusi, yang membawa konsekuensi bagi negara untuk mengakui,
menghormati, dan menjunjung tinggi hak warga negara dan warganya, termasuk pemenuhan hak
tersebut dalam kehidupan nyata (Picauly, 2022a). Salah satu dari hak tersebut adalah hak untuk
bekerja dan memperoleh pekerjaan yang harus diakui, dipenuhi, dan dijamin oleh negara karena
merupakan hak asasi manusia di bidang pekerjaan. Hak atas pekerjaan dan bekerja adalah hak setiap
orang, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk menduduki kedudukan yang sama
tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan golongan. Salah satu masalah
ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah perlindungan hukum terhadap
eksploitasi pekerja anak.
Berkaitan dengan tenaga kerja telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan dari mereka telah banyak pekerja yang justru anak dibawah umur
terpaksa bekerja sebagian besar karena latar belakang ekonomi sehingga menjadikan mereka menjadi
tumpuan keluarga untuk menyambung hidup. Namun, ada juga dari mereka yang sengaja
dipekerjakan secara berlebihan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bahkan mengarah pada
eksploitasi bahkan eksploitasi seksual demi keuntungan materi orang tuanya yang mana dalam hal
banyak terjadi dalam sektor industri hiburan. Pengertian eksploitasi berdasarkan pasal 1 bunyi ketujuh
dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang menyatakan bahwa eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara
melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immaterial.Bappenas RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2007. Sedangkan, Pasal 1 bunyi
kedelapan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang menyatakan bahwa eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1469
tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak
terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan (BAPPENAS RI, 2012).
Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang nantinya menjadi generasi penerus bangsa
sehingga mereka harus dipersiapkan dan diarahkan sejak dini. Tujuan dari perlindungan anak yaitu
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23, 2002). Anak di dalam Penjelasan atas Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) juga mengamanatkan
perlindungan anak dalam Pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” (Pasal 28B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, 1945).
Saat ini fenomena yang terjadi di masyarakat adalah terjadinya eksploitasi terhadap anak,
yang disebabkan oleh faktor tekanan ekonomi atau untuk memenuhi kebutuhan hidup (Sugeri, 2019).
Anak yang bekerja adalah contoh betapa rumit dan kompleksnya masalah anak. Pekerja anak
merupakan bentuk pengabaian hak asasi anak karena pada saat yang sama hak yang harus mereka
terima terabaikan. Seperti hak atas pendidikan, bermain, akses kesehatan, dan lain-lain, situasi ini
mengubah pekerja anak menjadi kategori yang membutuhkan perlindungan khusus yang memerlukan
perlakuan serius oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan kelompok terkait, serta pemerintah sebagai
pengambil kebijakan. Anak yang bekerja tidak hanya melanggar hak-hak anak, pekerjaan juga
berdampak negatif bagi anak, baik secara fisik maupun psikis. Selain itu, pekerjaan tersebut
dikhawatirkan akan mempengaruhi masa depan anak untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Anak-anak yang bekerja di usia muda, biasanya dari latar belakang miskin, berpendidikan rendah,
memang akan melanggengkan kemiskinan karena anak-anak yang bekerja tumbuh menjadi orang
dewasa yang melakukan pekerjaan sederhana dan mendapatkan upah yang sangat rendah.
Sejatinya anak memiliki hak khusus atau perlindungan khusus sehingga orang tua dan pelaku
industri hiburan kerap kali tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu bentuk eksploitasi
terhadap anak. Perlindungan khusus terhadap anak tersebut yakni menurut undang-undang yang diatur
dalam Pasal 59 ayat (2) Pasal 66 dan Pasal 67 Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Pasal 59 ayat (2) yang berbunyi :
“Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak Penyandang Disabilitas;
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1470
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang
Tuanya.”
Pasal 66 berbunyi :
“Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual.”
Pasal 76I yang berbunyi Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
terhadap Anak.
Pasal 88 yang berbunyi “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp, 200.000.000,00 (Kemensesneg, 2014).
Anak di dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) juga mengamanatkan perlindungan anak dalam Pasal 28 B ayat (2) yang
menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (BAPPENAS RI, 2012).
Akan tetapi di Indonesia masih banyak kasus eksploitasi anak, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Anak yang dijadikan objek eksploitasi menguntungkan pelaku tetapi menimbulkan
penderitaan bagi anak. Anak yang menjadi korban eksploitasi anak harus mendapat perhatian khusus
karena anak masih memiliki masa depan yang panjang untuk melanjutkan hidup seperti anak lain pada
umumnya. Oleh karena itu, hak-hak anak harus tetap dilindungi, namun bentuk perlindungannya
berbeda-beda tergantung dari penderitaan atau kerugian yang dialami oleh korban eksploitasi pekerja
anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian untuk melakukan analisis
mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak dalam Sektor Industri Hiburan
Beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu bentuk pengaturan
perlindungan hukum yang dapat membuat pekerja anak terhindar dari tindakan eksploitasi, faktor-
faktor penyebab industri hiburan rawan eksploitasi anak, dan upaya pemerintah dalam menanggulangi
pekerja anak dalam sektor industri hiburan dari tindakan eksploitasi. Pekerja anak merupakan salah
satu masalah laten yang dihadapi Indonesia saat ini, sehingga penelitian ini berusaha memberikan
gambaran terkait diskursus yang memberikan rumusan terkait perubahan Undang-Undang
Perlindungan Anak dapat memberikan preskripsi baru tentang perlindungan bagi anak yang
menghadapi masalah ini.
Metode Penelitian
Dalam artikel ini menggunakan metode penelitian yang berimplikasi pada teknik
pengumpulan serta analisis data dan juga simpulan yang dapat diambil. Dalam penelitian ini
merupakan jenis penelitian deskriptif analitis yang mana berarti bahwa menggambarkan peraturan
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1471
perundang-undangan yang berlaku serta dikaitkan dengan adanya teori hukum serta pelaksanaanya
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yakni mengenai eksploitasi anak dengan
mempekerjakan pada dunia hiburan malam. Pada penelitian ini menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif yang memiliki arti bahwa penelitian ini menekankan dengan adanya ilmu hukum
dengan menelaah adanya kaidah-kaidah hukum yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.(Aguspiani, 2002)
Sumber dan jenis bahan hukum dalam penelitian ini terdapat sumber hukum primer, sekunder
dan tersier. Pada sumber dan jenis bahan hukum primer ini memiliki otoritas dan juga bersifat autortif
yang mana terdiri diantaranya terdapat Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang eksploitasi anak,
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Presiden RI No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention
Right Of The Child (Konvensi Tentang Hak-hak Anak). Sumber dan jenis bahan hukum sekunder
dalam penelitian ini berasal dari Rancangan Undang-Undang, buku-buku hukum, jurnal, tesis hingga
skripsi. Sedangkan sumber dan jenis bahan hukum tersier terdiri dari kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
Teknik pengumpulan pada penelitian ini dengan menggunakan teknik pengumpulan
kepustakaan atau library research yang biasanya disebut dengan teknik pengumpulan studi dokumen
yang mana di antaranya terdapat bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri, menganalisa dan juga
mempelajari secara sistematis bahan yang memiliki korelasi dengan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
1. Bentuk Pengaturan Perlindungan Hukum yang Dapat Membuat Anak Terhindar dari
Tindakan Eksploitasi Pekerja Anak
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian
tentang pekerja yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja dalam kategori ini
merupakan pekerja yang berumur diatas 18 tahun. Sedangkan pekerja anak umumnya adalah anak-
anak yang berusia dibawah 18 tahun yang bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan dengan
memfokuskan seluruh aktivitasnya untuk bekerja, sehingga meninggalkan masa-masa tumbuh
kembangnya sebagai seorang anak normal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang
menyebabkan timbulnya permasalahan seorang anak bekerja. Sehingga, pekerja anak yaitu anak
yang berumur dibawah 18 tahun tidak dilegalkan secara hukum yang ada karena 18 tahun adalah
usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. Oleh sebab itu, perlunya suatu
perlindungan hukum bagi pekerja anak.
Masalah terkait pekerja anak merupakan masalah lintas sektoral, yang meliputi aspek
ekonomi, (anak bekerja dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga), aspek budaya (anak bekerja
merupakan suatu “keharusan” dalam budaya masyarakat tertentu), aspek politik, aspek hukum
(anak bekerja merupakan bentuk pemenuhan hak dan kewajiban sebagai subyek dalam hukum),
serta aspek sosial (anak yang bekerja dianggap sebagai anak yang berbakti dan dapat mengangkat
harkat dan martabat orang tua). Sehingga berpijak dari berbagai macam aspek dalam masalah anak
yang bekerja tersebut, menuntut adanya suatu regulasi dan pengaturan yang komprehensif dalam
bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibentuk oleh pemerintah baik oleh eksekutif
maupun legislatif, baik di tingkat pusat maupun di tingkatan daerah.
Dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang terdapat dalam pasal 59
menyatakan bahwa, pemerintah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1472
dengan hukum, anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual serta yang diperdagangkan. Secara yuridis, Indonesia juga telah
mengatur dengan seperangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan
hukum serta menjamin hak-hak anak dan mengurangi dampak bekerja dari anak, yaitu antara lain:
(Hidayat & Mahyani, 2017)
a. UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945
b. Meratifikasi konvensi Hak Anak 1989 melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990.
c. Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja
d. Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014;
f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g. Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang berfokus terkait perlindungan pekerja anak dalam
pengaplikasiannya masih terjadi ketidakefektifan hukum sehingga masih banyak terjadi pelanggaran
dan manipulasi hukum. Isu terkait anak telah meluas tidak hanya berdasar pada alasan anak bekerja
dan pemenuhan upah. Namun isu tersebut menyebar dengan adanya persoalan eksploitasi, pekerjaan
anak yang berbahaya, terhambatnya akses pendidikan serta menghambat pertumbuhan perkembangan
fisik, psikis dan sosial anak. United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF)
telah menetapkan beberapa kriteria eksploitasi terhadap anak yang bekerja, yaitu: (Iryani &
Priyarsono, 2013)
a. Kerja penuh waktu (full time) pada umur yang terlalu dini;
b. Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja;
c. Pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis yang tak patut terjadi;
d. Upah yang tidak mencukupi;
e. Tanggung jawab yang terlalu banyak;
f. Pekerjaan yang menghambat akses pada pendidikan;
g. Pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak seperti: perbudakan atau pekerjaan
kontrak paksa dan eksploitasi seksual;
h. Pekerjaan yang merusak perkembangan sosial serta psikologis yang penuh
Dalam beberapa kasus dan bentuk tertentu pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak
yang bekerja dalam situasi yang paling tidak bisa ditolerir (the intolerable form of child labor).
Terkait hal tersebut, maka, telah diatur dengan adanya Konvensi ILO Nomor 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
(BPTA). Dalam Konvensi tersebut Negara dituntut untuk mengambil ketetapan terhadap pelarangan
dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Istilah bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak” dalam konvensi tersebut diartikan dalam pasal 3 yaitu:(ILO, n.d.)
a) Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan
perdagangan anak-anak, kerja ijon dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk
pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi,
atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1473
c) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk
produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang
relevan;
d) Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
e) Sebagai pelaksanaan Ratifikasi ILO Nomor 182 tersebut, akhirnya Pemerintah menyusun
Rencana Aksi Nasional Penghapusan BPTA melalui Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun
2002 yang secara khusus memunculkan beberapa contoh Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak, seperti:
1) Anak-anak yang dilacurkan.
2) Anak-anak yang bekerja di pertambangan.
3) Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara.
4) Anak-anak yang bekerja di sektor konstruksi.
5) Anak-anak yang bekerja di jermal.
6) Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah
7) Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan
peledak.
8) Anak-anak yang bekerja di jalan.
9) Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
10) Anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga.
11) Anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan.
12) Anak-anak yang bekerja pada industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia
berbahaya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 juga disebutkan bahwa dalam upaya
untuk menerapkan Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk, terdapat beberapa
tantangan dalam program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu:
1. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat, dan terkini tentang pekerja anak baik
tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan
dampaknya bagi anak.
2. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
3. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai
pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
4. Lemahnya koordinasi berbagai pihak yang terkait dengan penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota).
5. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dalam penghapusan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
6. Belum memadainya perangkat hukum dan penegakannya yang diperlukan dalam aksi
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
7. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Dalam mengatasi masalah pekerja anak terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu
dengan pendekatan penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan
(empowerment). Pendekatan abolisi mengartikan bahwa setiap anak tidak diperkenankan untuk
bekerja dalam kondisi apapun, karena anak memiliki hak dalam memperoleh pendidikan dan
pengembangan diri. Sementara pendekatan perlindungan (protection) diartikan bahwa atas jaminan
terhadap hak sipil, maka sebagai warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Serta pendekatan
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1474
pemberdayaan (empowerment) yaitu dengan mengupayakan pemberdayaan terhadap pekerja anak
agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Berdasarkan macam-macam
pendekatan tersebut, saat ini yang menjadi upaya pemerintah dan didukung oleh ILO adalah dalam
mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak karena
setiap anak memiliki hak dalam memperoleh pendidikan dan pengembangan diri.
2. Faktor-Faktor Penyebab Industri Hiburan Rawan Eksploitasi Anak
Di era globalisasi dan digitalisasi yang masif seperti pada saat ini, media massa dan media
sosial menjadi ujung tombak perusahaan untuk mengembangkan industrinya.(Arviani, 2013) Begitu
pula dengan perusahaan yang bergerak di bidang konten kreatif atau hiburan seperti industri
perfilman, sinema elektronik, periklanan, dan berbagai bidang seni lainnya. Perusahaan dituntut untuk
dapat menggaet sebanyak-banyaknya konsumen yang mereka targetkan. Di industri perfilman atau
sinema elektronik (sinetron) misalnya, jumlah penonton akan berpengaruh pada pemasukkan yang
didapatkan oleh pembuat film atau sinetron tersebut. Akibatnya, industri hiburan tanah air terkesan
hanya mengejar jumlah target penonton, bukan kualitas dari apa yang dihasilkan. Belum lagi
permasalahan dengan keterlibatan anak di dalam industri hiburan tersebut.
Industri hiburan adalah dunia yang selalu diimpikan oleh kebanyakan orang bahkan hampir
semua orang. Menjadi bintang sinetron, penyanyi, dan kemudian terkenal dengan pesonanya yang
mewah. Menyaksikan bintang cilik memainkan bakatnya di atas panggung dan di layar kaca,
menjadikan mereka idola dari semua lapisan masyarakat adalah salah satu daya tarik utama memasuki
industri hiburan. Acara TV anak-anak sering tampil dengan riasan tebal, berpakaian seperti orang
dewasa, dan menyanyikan lagu-lagu dewasa yang ditentukan produser.
Tindakan eksploitasi anak atau mempekerjakan mereka untuk mendapatkan keuntungan
termasuk salah satu tindakan tidak terpuji karena menghilangkan hak hak anak yaitu hak untuk hidup,
tumbuh, berkembang, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Unsur eksploitasi anak yaitu
penggunaan fisik dan mencakup unsur-unsur penggunaan energi atau kapasitas pihak lain untuk
mendapatkan manfaat yang berwujud atau tidak berwujud. Masyarakat dan negara membantu
mencegah eksploitasi anak dalam industri hiburan. Budaya dan masyarakat Indonesia yang
mendukung anak untuk bekerja menjadi pembenaran bagi orang tua untuk mempekerjakan anaknya.
Namun, membawa orang tua ke ranah hukum dianggap tidak pantas dan tidak menyelesaikan
masalah. Mempidanakan pengusaha industri jauh lebih efektif dan efisien dalam menjaga
akuntabilitas dampak eksploitasi terhadap anak. Keterlibatan masyarakat dan negara tetap diperlukan
untuk mencegah eksploitasi terhadap anak. Anak bisa menjadi korban ataupun pelaku eksploitasi
dengan 3 (tiga) locus kekerasan, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di
lingkungan masyarakat.
Anak, di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) menyebut, Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Keterlibatan anak di dalam industri penyiaran nasional sebenarnya telah diatur di dalam Peraturan
Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Pada
Pasal 29 Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran tersebut, mengatur bahwa anak di bawah
18 tahun dilarang diwawancarai mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya.
Lebih jauh, program siaran yang menggunakan anak-anak dilarang untuk melanggar norma dan nilai
masyarakat Indonesia seperti berpakaian tidak sopan, berperilaku kasar, maupun melakukan perbuatan
tidak terpuji seperti minum minuman keras dan hal-hal yang bersifat dewasa lainnya. Hal itu juga
telah diperjelas dengan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang
Standar Program Siaran Terhadap peraturan tersebut di atas sudah terjadi pelanggaran di dalam
pelaksanaannya. Program Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne menampilkan anak yang berusia
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1475
15 tahun sebagai narasumber mengenai tema kekerasan pada anak dan dimintai keterangan terkait
kasus pembunuhan anak dengan inisial NF di Jakarta pada Oktober 2015 lalu.
Pekerja anak di dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada dasarnya dilarang melibatkan anak di dalam sebuah pekerjaan. Namun, pada
ketentuan di dalam Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengecualikan Pasal 68 bagi anak yang
berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Terdapat setidaknya tiga
ketentuan mengenai anak yang bekerja tersebut yaitu[2] ada di bawah penilikan dan penjagaan orang
tua atau wali, maksimal bekerja adalah tiga jam per hari, dan tidak mengganggu kondisi fisik, mental,
sosial, serta waktu sekolah. Sayangnya, di Indonesia saat ini, anak-anak tidak lagi digunakan sebagai
pemeran pendukung, tetapi sebagai pemeran utama (Lintang Ratri Rahmiaji, 2016). Hal ini tentu akan
menyita waktu anak untuk bertumbuh kembang dan menyita waktu sekolahnya. Lintang Ratri
Rahmiaji, di dalam penelitiannya menyebut bahwa produksi sinetron kejar tayang dilakukan lebih dari
tiga jam per hari dengan waktu selesai syuting hingga lewat pukul enam sore bahkan hingga tengah
malam. Parahnya, hal tersebut dilakukan penuh selama tujuh hari di dalam satu minggu.
Keterlibatan anak-anak di dalam industri hiburan memunculkan istilah baru. Istilah “artis cilik”
melekat pada anak-anak yang berada di dalam industri hiburan tanah air. Artis cilik bukan hanya
melekat pada diri anak-anak yang memainkan sebuah peranan di dalam perfilman atau sinetron saja,
melainkan juga industri musik. Isu mengenai pekerja anak di Indonesia biasanya hanya terpusat pada
hal-hal diluar bidang seni, seperti anak-anak yang menjadi buruh pabrik, asisten rumah tangga, kuli,
dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan untuk isu artis cilik sendiri, kurang menjadi perhatian
masyarakat. Hal tersebut terjadi karena artis cilik dianggap sebagai figur publik yang sedang
menyalurkan bakatnya alih-alih sebagai seorang yang sedang bekerja.(ILO, n.d.) Dengan adanya
persepsi yang demikian, terjadilah sikap yang tidak mempedulikan kepentingan utama anak. Padahal,
di era perkembangan industri seni yang semakin pesat seperti saat ini, keterlibatan anak-anak di dalam
industri hiburan terbuka lebar dan secepatnya diperlukan langkah tegas serta kesadaran seluruh
elemen dan pihak yang bergerak di bidang industri kreatif untuk menjaga, melindungi, dan membantu
tumbuh kembang anak-anak juga hak-hak anak.
Berikut merupakan Faktor yang diidentifikasi mempengaruhi terjadinya eksploitasi anak di industri
hiburan antara lain:
1. Tuntutan target penonton
Tujuan utama sebuah perusahaan didirikan pasti adalah untuk mencari keuntungan. Pada
bidang ilmu ekonomi, pasti tidak asing dengan prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan modal serendah mungkin. Hal ini lah yang membuat pengusaha industri hiburan hanya
mencari orang-orang atau pekerja yang bisa dipekerjakan secara maksimal tanpa
memperhatikan kualitas hasil juga tidak memperhatikan bagaimana hak-hak pekerja dilindungi
terutama dalam kasus artis cilik.
2. Anak-anak sebagai tokoh atau pemeran utama
Menjadikan anak sebagai tokoh utama di dalam sebuah film utamanya sinetron bukanlah
hal yang salah atau tidak diperbolehkan. Hal tersebut akan menjadi masalah bila sang anak
dipaksa untuk terus melakukan proses pengambilan gambar yang berulang-ulang, adanya
tekanan, dan tidak memperhatikan waktu bekerja. Akan menjadi perkara yang berbeda bila
anak-anak hanya dijadikan sebagai tokoh pendukung saja, anak akan bekerja tidak terlalu berat
dan masih ada waktu untuk bermain, belajar, dan yang terpenting ada waktu untuk mereka
dapat beristirahat. Proses untuk menciptakan sebuah film atau sinetron bukanlah waktu yang
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1476
singkat (Arrighi, G. & Emeljanow, 2014). Dengan proses kerja yang terus menerus akan
membatasi hak anak untuk mendapat kasih sayang keluarga, hak anak untuk menempuh
pendidikan, serta hak anak untuk memanfaatkan waktu luang.
3. Perspektif bahwa artis cilik adalah figur publik bukan pekerja
Satu hal yang perlu diberi garis bawah ialah bahwa keterlibatan anak di dalam industri
hiburan apalagi ia diberi upah atau imbalan, maka anak tersebut sudah digolongkan menjadi
pekerja. Hal ini sesuai dengan definisi pekerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Artinya, apabila anak dipekerjakan untuk dunia hiburan, diperlukan pula kesadaran untuk
menjaga hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut. Bila di masyarakat kita sudah terlanjur
menganggap bahwa artis cilik adalah bintang atau figur publik, diperlukan pula upaya untuk
meningkatkan kesadaran bahwa artis cilik juga merupakan pekerja yang wajib menerima hak-
hak dirinya sebagai orang yang bekerja juga sebagai anak-anak dalam masa pertumbuhan.
Selain ketiga faktor di atas, terdapat faktor penunjang terjadinya eksploitasi anak, yaitu:
1. Faktor ekonomi
Eksploitasi secara ekonomi. Kehidupan ekonomi adalah fondasi dari segalanya struktur
sosial dan budaya, sehingga menentukan semua urusan struktur tersebut struktur. Kondisi dan
perubahan ekonomi berdampak signifikan terhadap terjadinya kejahatan, dikarenakan situasi
keuangan individu atau keluarga yang tidak mendukung dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Pada dasarnya anak-anak melakukannya berdasarkan kondisi ekonomi karena faktor ekonomi
menjadi dasar utama peningkatan jumlah tenaga kerja anak-anak. Gagasan untuk
mengendurkan ekonomi keluarga, memiliki penghasilan sendiri, belajar bertanggung jawab,
dan menjadi dewasa adalah beberapa faktor yang memberi ruang bagi anak-anak untuk
bergerak di dunia kerja. Pemikiran memberi ruang bagi anak-anak untuk berkecimpung di
industri hiburan sangat berkaitan dengan tumbuh kembang anak yang memiliki efek negatif
contohnya berpengaruh terhadap sikap, fisik, dan mental anak. Upaya yang dapat dilakukan
pemerintah untuk mengatasi masalah pekerja anak dalam industri hiburan, yang perlu
diperhatikan ialah upaya terhadap penegakan hukum yang sudah ada, yang menjadi dasar di
dalam penanggulangannya. Secara umum, permasalahan mengenai pekerja anak di Indonesia
dapat diatasi dengan kerja sama berbagai lembaga negara.
2. Faktor keluarga
Selain ekonomi, keluarga juga menjadi faktor penyebab terjadinya eksploitasi. Keluarga
memiliki peran sangat penting bagi anak. Didikan orang tua sangat mempengaruhi karakter
pada anaknya, ditambah lagi di zaman sekarang banyak orang tua yang kurang baik dalam
berkomunikasi dengan anak mereka. Orang tua yang lebih temperamental mungkin akan tidak
sabar akan perubahan sifat dan sikap anaknya. Tentunya orang tua yang memiliki banyak
informasi mengenai parenting akan lebih terbuka untuk bereksperimen dengan pola parenting
baru selain parenting dari orang tua mereka. Kekerasan dalam keluarga dengan contoh
melakukan tindak kekerasan fisik dan emosional umumnya berlangsung dalam konteks
penyalahgunaan dan berdampak pada psikologis anak.(Kadir & Handayaningsih, 2020).
3. Faktor pendidikan
Kurangnya lembaga pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan dasar, kesadaran umum
akan pentingnya pendidikan dan kurikulum yang berhubungan dengan masa depan, karena
tingginya biaya pendidikan. Kondisi anak yang kurang memperhatikan pendidikan
mendorong mereka untuk memasuki dunia kerja. Beberapa hasil penelitian Menunjukkan
bahwa sebagian besar anak yang bekerja hampir berpendidikan yang rendah. Terbatasnya
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1477
pendidikan anak yang berarti bahwa mereka kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan
dalam dunia industri/kerja dan mudah menerima pekerjaan yang tidak memerlukan prasyarat
pendidikan. Dengan godaan penghasilan besar, mereka menjebak anak-anak dalam praktek
kerja industri hiburan (Bhattacharjee, 2014).
3. Upaya Pemerintah dalam Menanggulangi Pekerja Anak dalam Sektor Industri Hiburan dari
Tindakan Eksploitasi
Upaya penanggulangan pekerja anak harus dilakukan secara terpadu, lintas sektoral di tingkat
pusat dan daerah. Penanggulangan pekerja anak adalah sebuah kedilemaan. Pemerintah ingin
melarang pekerja anak dan berharap semua anak usia sekolah dapat mengembangkan kecerdasannya
di sekolah untuk mendapatkan masa depan yang berkualitas. Di samping itu, pemerintah tidak dapat
mengabaikan fakta bahwa masih banyak keluarga miskin yang terpaksa membiarkan anak bekerja.
Pada intinya, penanggulangan pekerja anak diupayakan dari akarnya atau sentralnya, yaitu dari sisi
keluarga dalam hal ini adalah keluarga miskin, bagi anak-anak tersebut yang terpaksa menambah
penghasilan keluarga karena alasan sosial ekonomi.
Perlindungan dari sisi penawaran dilaksanakan melalui program lintas sektor yang dimaksudkan
untuk membatasi pekerja anak dari sumber atau institusi yang melahirkan pekerja anak dengan
melalui tindakan preventif. Program-program aksi antara lain Gerakan Pembangunan Keluarga
Sejahtera, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Tabungan Keluarga Sejahtera, Kredit Usaha
Keluarga Sejahtera, Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif, Kemitraan Dalam Berusaha, Gerakan
Wajib Belajar, Gerakan Nasional Orangtua Asuh. Dari sisi permintaan, upaya penanggulangan
pekerja anak dilakukan melalui industri atau perusahaan yang mempekerjakan anak. Ditengarai masih
ada perusahaan yang mempekerjakan anak karena beberapa hal antara lain upah yang lebih murah,
biaya produksi lebih sedikit, usia mereka relatif muda sehingga sangat mudah diatur, tidak banyak
menuntut seperti pekerja dewasa.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi terkait permasalahan eksploitasi dengan
mempekerjakan pekerja di bawah umur pada sektor dunia hiburan malam, yakni dengan
menggunakan beberapa kebijakan tertentu diantaranya pemerintah setempat dengan dibantu pihak-
pihak terkait dengan menerbitkan dan melaksanakan konferensi pemberantasan eksploitasi
mempekerjakan anak pada dunia hiburan malam perempuan dan anak yang mana menghasilkan
sebuah aksi daerah, kemudian dapat juga melakukan pembentukan Satuan Tugas Anti Eksploitasi
Perempuan dan Anak, kemudian juga terdapat pelatihan dalam pendampingan korban dari kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak dan lain sebagainya.(Putri et al., 2020)
Peran pemerintah dalam upaya mengatasi kasus eksploitasi dalam mempekerjakan anak di bawah
umur dalam hiburan malam tersebut selaras dengan adanya peraturan perundang-undangan yang
diaturnya dalam Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terhadap Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan Anak. Pada peraturan
perundang-undangan tersebut sangat diharapkan dapat menjadi sebuah terobosan dalam upaya
pemerintah dalam memberikan perlindungan atau payung hukum pada anak dalam segala aspek
begitu juga dalam pemenuhan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak anak agar
terwujudnya masa depan yang positif. Secara garis besar dalam memberikan perlindungan dengan
adanya perubahan pada peraturan perundang undangan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan
Anak terlihat pada keterlibatan pemerintah daerah dalam mengatasi kasus tersebut dengan
memberikan sarana dan prasarana dalam pemeliharaan, perlindungan serta kesejahteraan bagi sang
anak. Eksploitasi pada anak juga sangat bertentangan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
mengenai kesejahteraan anak.(Aisyiyah, 2018)
Bila membicarakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pekerja anak
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1478
dalam industri hiburan, yang perlu diperhatikan ialah upaya terhadap penegakan hukum yang sudah
ada, yang menjadi dasar di dalam penanggulangannya. Secara umum, permasalahan mengenai pekerja
anak di Indonesia dapat diatasi dengan kerja sama berbagai lembaga negara. Mulai dari kementerian,
maupun lembaga khusus di bawah naungan presiden atau menteri itu sendiri. Misalnya, kementerian
ketenagakerjaan, kementerian sosial, kementerian pendidikan, dan/atau Komisi Penyiaran Indonesia,
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Sebenarnya, pengaturan mengenai pedoman penyiaran sudah
tertuang pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang
Standar Program Siaran.
Sejalan dengan teori Lawrence M Friedman,(Tarmizi, 2020) substansi hukum, struktur hukum,
dan budaya hukum merupakan elemen-elemen yang saling terkait dan terikat satu sama lain untuk
memaksimalkan sistem dan upaya hukum kaitannya dengan mengatasi eksploitasi anak. Substansi
hukum adalah dengan menetapkan berbagai dasar hukum melalui undang-undang maupun peraturan
lain yang dibuat oleh lembaga pemerintah. Struktur hukum adalah dengan memaksimalkan kinerja
lembaga-lembaga penegak hukum dan memberikan kepercayaan serta keleluasaan bagi struktur
penegak norma-norma hukum di dalam upayanya mengatasi eksploitasi anak. Selain dua elemen
tersebut, yang juga paling penting adalah menciptakan budaya hukum yang baik. Artinya, pemerintah
perlu melakukan upaya serius untuk menciptakan, menghidupkan, dan melakukan proses
pelembagaan budaya tertib hukum baik di lingkungan pemerintahan itu sendiri, di lingkungan
pengusaha-pengusaha industri hiburan, dan di masyarakat.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dalam materi pidatonya pada End Child labour virtual
race 2021” oleh Organisasi Buruh Internasional atau ILO pada Peringatan Hari Dunia Menentang
Pekerja Anak atau World Day Against Labour 2021, Sabtu, 12 Juni 2021, mengatakan sejumlah
upaya telah dilakukan oleh pemerintah setidaknya hingga pada tahun 2021. Upaya-upaya tersebut
adalah meningkatkan upaya masyarakat, memusatkan kembali perhatian terhadap pendidikan anak,
memberi pelatihan pada pekerja anak, memberi bantuan kepada keluarga miskin agar masalah
ekonomi tidak menjadi alasan anak-anak dilibatkan di dalam sebuah pekerjaan, melakukan
pemeriksaan dan memberi sanksi terhadap perusahaan yang terbukti melakukan eksploitasi anak, serta
melakukan upaya memasyarakatkan kepada berbagai pihak tentang norma kerja anak.
Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pusat, terlihat di dalam tiga Keputusan Presiden
(Keppres) di bawah ini, yaitu:
1. Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
2. Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
3. Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak.
Dengan dasar hukum yang sudah komprehensif tersebut, seyogyanya, upaya penanggulangan
dalam rangka mengatasi eksploitasi anak di industri hiburan dapat dilakukan secara maksimal demi
keberlangsungan kehidupan anak yang baik.
Kesimpulan
Masalah ketenagakerjaan masih perlu mendapat perhatian khususnya masalah perlindungan
hukum terhadap eksploitasi pekerja anak. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pemahaman mengenai
beberapa hal penting seperti pembahasan diatas, yaitu diantaranya : bagaimana bentuk pengaturan
perlindungan hukum yang dapat membuat pekerja anak terhindar dari tindakan eksploitasi, apa
sajakah faktor-faktor penyebab industri hiburan rawan eksploitasi anak, dan bagaimana upaya
pemerintah dalam menanggulangi pekerja anak dalam sektor industri hiburan dari tindakan
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1479
eksploitasi.
Pertama, perlindungan hukum bagi pekerja anak agar terhindar dari tindakan eksploitasi.
Tenaga kerja anak sendiri apabila menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang
KetenagaKerjaan adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun yang bekerja dalam berbagai
bidang pekerjaan dengan memfokuskan seluruh aktivitasnya untuk bekerja, sehingga meninggalkan
masa-masa tumbuh kembangnya sebagai seorang anak normal. khususnya di industri hiburan sendiri,
banyak sekali anak-anak yang harus meninggalkan kegiatan belajarnya di sekolah maupun waktu
bermainnya karena tuntutan dalam dunia hiburan yang jadwalnya sangat padat. Oleh karena itu,
dibutuhkan penanggulangan secara yuridis terhadap permasalahan tersebut. ditambah lagi, masalah
terkait pekerja anak ini merupakan masalah lintas sektoral. namun, Banyaknya peraturan perundang-
undangan yang berfokus terkait perlindungan pekerja anak dalam pengaplikasiannya masih terjadi
ketidakefektifan hukum sehingga masih banyak terjadi pelanggaran dan manipulasi hukum. dengan
demikian, dibutuhkan beberapa pendekatan khusus dalam mengatasi masalah pekerja anak. Terdapat
tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu dengan pendekatan penghapusan (abolition), yaitu
bahwa setiap anak tidak diperkenankan untuk bekerja dalam kondisi apapun, kemudian perlindungan
(protection), yaitu ada jaminan terhadap hak sipil, maka sebagai warga negara setiap anak punya hak
untuk bekerja, dan pemberdayaan (empowerment), yaitu mengupayakan pemberdayaan terhadap
pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
Kedua, kita harus memahami apa saja faktor-faktor penyebab industri hiburan rawan akan
adanya eksploitasi anak. Faktor-faktor utamanya diantaranya, yaitu adanya tuntutan target karena
dalam industri hiburan tentunya memiliki target tertentu untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-
banyaknya hal itu lah yang menyebabkan anak-anak banyak yang dipekerjakan secara maksimal tanpa
memperhatikan bagaimana hak-hak pekerja dilindungi terutama dalam kasus artis cilik, bahkan
kurang memperhatikan hasil produksinya sendiri, selanjutnya menjadikan anak sebagai tokoh utama
di dalam sebuah film utamanya sinetron bukanlah hal yang salah atau tidak diperbolehkan. Hal
tersebut akan menjadi masalah bila sang anak dipaksa untuk terus melakukan proses pengambilan
gambar yang berulang-ulang, adanya tekanan, dan tidak memperhatikan waktu bekerja hal yang
paling dasar dan dekat dengan anak, yaitu keluarga juga sangat mempengaruhi. dan faktor ketiga
adalah perspektif bahwa artis cilik sebagai publik figur bukan pekerja apabila anak dipekerjakan
untuk dunia hiburan, diperlukan pula kesadaran untuk menjaga hak-hak yang dimiliki oleh anak
tersebut. Bila di masyarakat kita sudah terlanjur menganggap bahwa artis cilik adalah bintang atau
figur publik, diperlukan pula upaya untuk meningkatkan kesadaran bahwa artis cilik juga merupakan
pekerja yang wajib menerima hak-haknya. kemudian ada juga faktor-faktor yang sifatnya internal,
seperti faktor orang tua yang lebih temperamental mungkin akan tidak sabar akan perubahan sifat dan
sikap anaknya. sehingga dalam hal ini parenting orang tua sangat dibutuhkan, kemudian faktor
ekonomi yang seringkali mendesak anak-anak untuk akhirnya bekerja keras memenuhi kebutuhan
keluarga, dan yang terakhir faktor pendidikan, yaitu kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan
membuat banyak anak akhirnya memutuskan meninggalkan bangku sekolah dan berfokus pada karier
nya di usia dini.
Ketiga, upaya pemerintah dalam menanggulangi pekerja anak dalam sektor industri hiburan
dari tindakan eksploitasi. permasalahan ketenagakerjaan anak ini pada dasarnya adalah permasalahan
lintas sektoral. penanggulangan pekerja anak harus diupayakan dari akarnya atau sentralnya, yaitu dari
sisi keluarga dalam hal ini adalah keluarga miskin, bagi anak-anak tersebut yang terpaksa menambah
penghasilan keluarga karena alasan sosial ekonomi. karena kemungkinan besar apabila tidak ada
permasalahan ekonomi, anak tidak akan bekerja secara keras atau tereksploitasi demi memenuhi
kebutuhan keluarga. adapun ekspolitasi anak di sektor dunia hiburan malam pemerintah meanggulangi
menggunakan beberapa kebijakan tertentu diantaranya pemerintah setempat dengan dibantu pihak-
pihak terkait dengan menerbitkan dan melaksanakan konferensi pemberantasan eksploitasi
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1480
mempekerjakan anak pada dunia hiburan malam perempuan dan anak yang mana menghasilkan
sebuah aksi daerah, kemudian dapat juga melakukan pembentukan Satuan Tugas Anti Eksploitasi
Perempuan dan Anak. Peran pemerintah dalam upaya mengatasi kasus eksploitasi dalam
mempekerjakan anak di bawah umur dalam hiburan malam tersebut selaras dengan adanya peraturan
perundang-undangan yang diaturnya dalam Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan
Anak.
Dengan melihat permasalahan eksploitasi anak ini, harus adanya upaya lebih dari pemerintah
dalam menganggulanginya, ditambah lagi eksploitasi anak merupakan permasalahan lintas sektoral
yang harus ditangani dari akarnya. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah
pekerja anak dalam industri hiburan, yang perlu diperhatikan ialah upaya terhadap penegakan hukum
yang sudah ada, yang menjadi dasar di dalam penanggulangannya. Secara umum, permasalahan
mengenai pekerja anak di Indonesia dapat diatasi dengan kerja sama berbagai lembaga negara.
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1481
Blibiografi
Aguspiani, J. (2002). Kejahatan Mengeksploitasi Anak Sebagai Pekerja Di Tempat Hiburan Malam
Di Kota Depok Dikaitkan Dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak. Academy Of Management Journal, 5(3), 113.
Aisyiyah, S. S. (2018). Tindak Pidana Eksploitasi Pekerja Anak Di Bawah Umur Di Wilayah
Tangerang; Kajian Hukum Positif Dan Hukum Islam. In Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar-I (Vol. 5, Issue 4). Https://Doi.Org/10.15408/Sjsbs.V5i4.21437
Arrighi, G. & Emeljanow, V. (2014). Entertaining Children „The Participation Of Youth In The
Entertainment Industry. Australia: Palgrave Macmillan.
Arviani, H. (2013). Budaya Global Dalam Industri Budaya: Tinjauan Madzhab Frankfurt Terhadap
Iklan, Pop Culture, Dan Industri Hiburan. Global And Policy Journal Of International Relations,
1(2), 130141.
BAPPENAS RI. (2012).
Bhattacharjee, S. (2014). Sophisticated Work Done By Children Is Child Labour: An Overview Of
Children Working In Industries. International Journal Of Research In Humanities, Arts And
Literature, 2(6), 4552.
Hidayat, S., & Mahyani, A. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Eksploitasi Sebagai
Artis. 229238. Https://Doi.Org/10.5281/Zenodo.1155000.Kompas
Ilo. (N.D.). Pelanggaran Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak.
Iryani, B. S., & Priyarsono, D. S. (2013). Eksploitasi Terhadap Anak Yang Bekerja Di Indonesia
Exploitation Of Working Children In Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia,
13(2), 177195.
Kadir, A., & Handayaningsih, A. (2020). Kekerasan Anak Dalam Keluarga. Wacana, 12(2), 133145.
Https://Doi.Org/10.13057/Wacana.V12i2.172
Kemensesneg, R. (2014). Uu Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. In Uu
Perlindungan Anak.
Lintang Ratri Rahmiaji. (2016). Komodifikasi Pekerja Anak Di Industri Sinetron Indonesia
(Naturalisasi Eksploitasi Pekerja Anak Di Sinetron Raden Kian Santang. In Jurnal Geografi.
Universitas Indonesia.
Pasal 28b Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (1945).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23. (2002).
Picauly, B. C. (2022a). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak. Pamali: Pattimura Magister
Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak Dalam Sektor Industri Hiburan
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 3, No. 11, November 2022
1482
Law Review, 2(1), 8695. File:///C:/Users/User/Downloads/818-2471-1-Pb.Pdf
Picauly, B. C. (2022b). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Ada . Lapangan Kerja Yang
Sempit Mengakibatkan Tenaga Kerja Berlomba-Lomba Untuk. Pamali: Pattimura Magisterlaw
Review, 2(1), 8695.
Putri, S. Y. E., Assa, W., & Sondakh, M. T. (2020). Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang Menurut Undangundang Nomor 21 Tahun 2007 Di Sulawesi Utara1. Quarterly Journal
Of Health Psychology, 8(32), 7392.
Sugeri. (2019). Analisis Keberadaan Pekerja Anak Pada Sektor Industri (Studi Kasus Pada Pabrik Cv.
Toba Nauli Di Kawasan Industri Medan). Medan : Usu, 2.
Tarmizi, T. (2020). The Principle Of Consensualism And Freedom Of Contract As A Reflection Of
Morality And Legal Certainty Of Contract Laws In Indonesia. Webology, 17(2), 336347.
Https://Doi.Org/10.14704/Web/V17i2/Web17036